Madurazone.co, Sumenep – Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur dalam dua pekan terakhir ini memang cukup ramai. Penyebabnya, pelaksanaan tahapan pemilihan kepala desa (pilkades) yang dipicu dengan peraturan bupati (perbup) yang dinilai “tak berkeadilan”.
Bahkan, antar pendukung sudah bergejolak, terjadi bentrok seperti di Desa Aengbeje Kenek Kecamatan Bluto. Lalu, gejolak terus membara, hingga demontrasi ke gedung dewan tak bisa dihindari. Namun, kemudian pemkab Sumenep mendadak melakukan revisi perbup yang sudah dikeluarkan dan menjadi acuan tahapan pilkades.
Keberadaan perbup pilkades tak konsisten dan selalu ada perubahan. Pertama muncul Perbup Nomor 27/2019 yang ditetapkan pada 15 Mei 2019. Namun, perbup itu tidak berlaku pasca lahirnya Perbup Nomor 39 tahun 2019 yang disahkan pada 21 Juni 2019.
Kedua Perbup itu sebagai turunan dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2014 tentang Pedoman Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa. Namun, pada 23 Agustus 2019 Perda Nomor 8/2014 direvisi menjadi Perda Nomor 3 tahun 2019 tentang Desa. Dengan begitu kedua Perbub juga harus direvisi. Maka, lahirlah Perbup Nomor 54/2019 tentang Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa. Dengan begitu, pelaksanaan Pilkades serentak saat ini mengacu pada Perbup Nomor 54/2019
Fakta ini membuat anggota DPRD Sumenep Darul Hasyim Fath angkat bicara. Politisi PDI Perjuangan menilai tim hukum Setkab kurang kapabel. Sehingga, diperlukan tim hukum baru, dengan melakukan rotasi kepada yang dianggap lebih berkualitas.
“Bupati harus tegas menyikapi persoalan ini, jika perlu Bupati harus melakukan reorganisasi pada tim hukum dibawah Setdakab Sumenep,” katanya kepada sejumlah awak media.
Bayangkan, sambung dia, perbup yang seharusnya menjadi solusi, malah menjadi bola liar dan gejolak di bawah. Maka, analisis yuridisnya bisa dikatakan cukup lemah. “Jika sampai terjadi gejolak, berarti kurang jeli dalam menyusun perbup. Polemik itu kan ada pada sistem scoring, ini cantolan hukumnya kemana, ” ucapnya.
Selain itu, Politisi asal Kepulauan Masalembu ini juga menilai tim hukum terkesan tak profesional. Sebab, kurun waktu yang singkat Perbup selalu mengalami revisi, hingga keluarnya surat edaran penangguhan tahapan Pilkades serentak tahun 2019.
“Jangan sampai hal itu menjadikan Sekda (sekretaris daerah) martil kebijakan. Reorganisasi itu salah satu solusi untuk hidupnya keputusan eksekutif,” tegas pria yang menjabat sebagai Anggota DPRD Sumenep tiga periode itu. (nz/yt)