Madurazone.co, Sumenep – Penguasaan pasar anom baru oleh BPRS Bhakti Sumekar terus berbuntut panjang. Kini, harga pembelian pasar Blok A itu disinyalir lebih tingi dari hasil penghitungan teknik Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) atau Property Appraisal Consultans.
Dari hasil penilaian itu terungkap, nilai gedung utama tidak termasuk fasilitas umum nilai harga pasar sebesar Rp. 26.530.431.200, sedang indikasi Nilai Jual Cepat atau Likuidasi sebesar Rp. 18.571.301.840. Sementara, BPRS membeli 90% kepada PT Maje senilai Rp. 33.900.000.000, dan jika dikoversi dengan penilai publik dengan nilai pembelian BPRS 90% yaitu sebesar Rp. 23.877.388.080.
“Melihat data itu, seharusnya BPRS membeli di bawah harga pasar tersebut, dan untuk nilai jual cepat/Likuidasi dari angka 90% adalah sebesar Rp. 16.714.171.656,” kata Saifuddin, aktifis LIPK.
Nah, sambung dia, atas pembelian itu ada selisih harga antara pembelian BPRS dan penilai Publik/Propety Appraisal Consultans yaitu sekitar 7,5 milyar. “Maka, harga yang digunakan itu lebih tinggi dari hasil aprisal, ” ucapnya.
Memang, menurut dia, BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) wajar mengambil harga lebih tinggi lantaran disamping membantu pedagang kan pasti butuh profit. “Tidak mungkin lembaga berbisnis tidak butuh untung. Tidak rasional, ” tuturnya.
Selain itu, aktifis asal kecamatan kota ini mengungkapkan, pihaknya juga menyesalkan perusahaan PT Maje menjual langsung ke BPRS. Sementara bank menjual lagi ke pedagang. “Secara bisnis, harga dipatok ke pedagang akan lebih tinggi dari pembelian ke PT Maje. Berpikirnya pasti Bisnis to bisnis. Diuntungkan pasti BPRS dong, ” tuturnya.
Nah, Edy mengungkapkan, dari kajian ini maka patut diduga jika ada kongkalikong antara pemkab, PT Maje dan juga BPRS Bhakti Sumekar. “Kenapa tidak langsung PT Maje yang menjual pedagang, lalu pembiayaan BPRS. Bisnis perbanka ya begitu, bukan membeli,” tukasnya.
Direktur BPRS BhaktI Sumekar Novi Sujatmiko menjelaskan, dalam hal pelaksanaan pembangunan mengaku tidak terlibat di teknis. Sebab, perencanaan bukan berada di BPRS. “Kami, BPRS hanya membantu pedagang terdampak kebakaran 2007 yg tidak memiliki dana cash untuk penggantian kualitas pembangunan atas toko/stan/kios yg dibangun investor. Itu saja lain tidak,” ucapnya.
Bahkan, Novi menantang untuk melakukan pengecekan bisa ditemukan ada konspirasi dalam memfasilitasi pedagang BPRS. “Hubungan BPRS dengan investor B2B, dengan pedagang juga B2B (bisnis to bisnis). Tidak ada dana APBD yang digunakan, ” tukasnya.
Menurut pria tampan ini, mengambil ke BPRS Bhakti Sumekar jelas lebih murah dibandingkan kepada imvestor. Itu bisa dilihat dal fakta di lapangan.
Penguasaan pasa anom baru Blok A oleh BPRS Bhakti Sumekar mencuat ke permukaan. Itu setelah adanya aksi dari sejumlah aktifis Sumenep yang menuding proses pembelian itu tidak sesuai dengan Permendagri nomor 17/2007 tentang pedoman teknis pengelolaan aset Daerah dan diduga melanggar UU Perbankan. (nz/yt)