Madurazone.co, Sumenep – polemik “penguasaan” mayoritas pasar anom baru oleh BPRS Bhakti Sumekar terus mencuat ke permukaan. Terbaru, proses “pembelian” kios dan toko khususnya di Blok A disinyalir tak sesuai UU (Undang-undang) perbankan.
Indikasinya, dalam UU no 10/1998 perubahan atas UU nomor 7/1992 tentang perbankan tidak terdapat jenis usaha bisnis to bisnis. Dalam peraturan itu hanya tertuang bahwa usahanya adalah menghimpun dana, memberikan kredit, menyediakan pembiayaan dan menempatkan dana sesuai prinsip syariah.
“Apabila mengacu kepada UU perbankan proses pembelian atau pengusaaan kios Blok oleh BPRS Bhakti Sumekar disinyalir tak memiliki dasar yang jelas. Maka wajar menjadi polemik, ” kata Ketua LBH Bhakti Keadilan Syafrawi.
Menurutnya, hal tersebut bisa dicek di UU perbankan pasal 13. Sebab, pasar itu seharusnya melalui pengusaan investor. “Karena investor ini memiliki jangka waktu 25 tahun. Tapi, sudah dilakukan pembelian oleh BPRS, ” ucap mantan aktifis Malang ini.
Syafrawi mengungkapkan, sementara mengacu kepada UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah juga tidak tampak ada core bisnis yang membolehkan BPRS membeli pasar anom tersebut. Hanya dalam pasal 21, hanya tersirat pada nasabah, bukan pembelian untuk bisnis to bisnis lagi.
“Bunyi pasal 21, poin B ayat 4, pembiayaan penyeweaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad Ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik. Ini bisa dimaknai, jika barang itu sudah dimiliki lalu dibiayai oleh BPRS dengan sistem. Bukan pada proses pembeliannya, ” ungkapnya.
Dengan begitu, terang dia, pihaknya masih mempertanyakan dasar pembelian kepada investor itu. Sebab, dengan pembelian tersebut maka klausul yang ada di kontrak investor dengan pemkan menjadi niscaya. “Hemat saya, harusnya itu tetap milik Investor soal Nasabah kurang dana maka BPRS penyedianya. Bukan diborong, ” tuturnya.
Sebab, menurut Syafrawi, Investor masih memiliki tanggungan berupa PAD (Pendapatan Asli Daerah) kepada pemkab. “Dia punya tanggungan PAD. Apakah ini lalu menjadi tanggungjawab BPRS. Ini seharusnya yang perlu dipersoalkan. Kami hanya ingin tegaskan apa dasar pastinya. Kalau hanya urusan kasihan dan prihatin kepada pedagang, kan tinggal memberikan pembiayaan. Ini selaras dengan UU Perbankan Syariah, ” ujarnya.
Untuk itu, pihaknya meminta ada evaluasi terkait penguasaan dan pembelian pasar Anom baru ini. Sehingga, akan menyebabkan titik jelas kepada publik. “Kami disini hanya ingin BPRS terbuka, sehingga publik tahu, ” tukasnya.
Sementara Direktur BPRS Bhakti Sumekar Novi Sujatmiko bersikukuh kebijakan yang diambilnya sudah sesuai dengan UU Perbankan Syariah. Saat menunjukkan pasal 21, pria tampan ini membenarkan. “Pembiayaan dan proses pembelian mengacu kepada itu (UU Perbankan, Red), “katanya.
Menurut Novi, bahasa membeli hanya sebatas komersial yang lebih mudah. Tapi, prinsipnya hanya penggantian kualitas fisik bangunannya saja, tapi tidak tanahnya yang merupakan milik pemkab. “Jadi, itu tidak termasuk tanahnya,” tuturnya.
Novi mengungkapkan, pada dasarnya pihaknya tidak mau selalu berwacana, apabila apa yang dilakukan salah silahkan diuji. Dan, pihaknya juga tidak gentar apabila memag salah silahkan dilaporkan. “Saya bukan penakut, dan tidak bisa digertak. Silahkan dilaporkan saja, ” tukasnya.
Penguasaan pasa anom baru Blok A oleh BPRS Bhakti Sumekar mencuat ke permukaan. Itu setelah adanya aksi dari sejumlah aktifis Sumenep yang menuding proses pembelian itu tidak sesuai dengan Permendagri nomor 17/2007 tentang pedoman teknis pengelolaan aset Daerah. (nz/yt)